Selasa, 03 April 2012

Februari


Minggu-I
Ketika mobil yang kami tumpangi meluncur dari mangga dua sehabis mengantarkan kami berjalan-jalan mengisi kekosongan waktu sekolah, seluncur sms menghampiri ponselku. Sebuah sms yang tidak jelas tetapi mengurai maksud untuk sekedar menyapa karena perasaan bersalah tempoh hari yang mengabaikan kehidupanku dan bahkan kehidupannya sendiri dan kehidupan nuraninya. Sedikit ku berfikir di tengah obrolan dan gurauan teman-teman sekolahku di mobil ini. Sesampainya di daerah Gunung Sahari kutelepon dia dan langsung kuajak untuk bertemu. Sebuah sinyal seorang wanita yang ku tangkap dari perilakunya barusan. Pembicaraan setelah lebih dari dua minggu pun terjadi. Tanpa basa-basi setelah kata halo ku dengar dari seberang telepon, langsung kutanyakan “kapan?, kapan kau ingin bertemu denganku??” tawa kecil menyeruak dari bibirnya dan dengan sedikit malu dia menjawab dan menyerahkan waktunya kepadaku. Aku mengatakan nanti sore selepas pulang sekolah, untuk menemuinya, dengan nada sedikit kaget ia pun mengiayakan ajakanku. Terus terang sedikitpun tak ada rasa senang ataupun perasaan yang gembira menunggu kabar ataupun pertemuan. Hanya saja ingin kulihat wajah perempuan yang merasa tak berdosa tanpa kuketahui sebabnya sikapnya akhir-akhir ini. Mobil terus melaju di jalanan ibukota yang sedikit lengang, menuju cempaka putih. Adzan dluhur baru saja berkumandang tetapi tak terasa adzan ashar pun segera menyapa rindu pada senja. Pukul lima sore kelas bubar dan aku berpamitan pada teman-teman untuk pulang lebih awal, menjenguk nenekku dan sejenak beristirahat di sana menunggu waktu yang telah dijanjikan perempuan itu. Selepas adzan maghrib, aku berpamitan kepada nenekku untuk pulang, dan segera menuju tempat pertemuan kami, pertemuan dengan melodi, teman sekolah menengahku. Tak seberapa lama kutunggu dan melodi muncul dari balik pintu kaca sebuah toko yang ada di depan tempat ku berdiam. Dengan raut muka yang bertanya-tanya dia memandangiku, kubalas dengan sebuah senyuman yang biasa. Kusalami dan kutanyakan kabarnya. Langsung ku ajak dia membonceng sepeda motorku dan mencari tempat yang nyaman untuk berbincang. Sepertinya sudah Sembilan tahun kami tidak pernah bertemu dan berbicara, tetapi kurasakan tak ada yang berubah darinya masih sama seperti masa di sekolah menengah dulu. Tatapan wajahnya masih kaku dan penuh rasa penasaran. Aku cairkan dengan gurauan-gurauan yang sedikit membuatnya tertawa. Di sebuah rumah makan pinggir jalan yang sepi dan rindang kami berhenti dan berbincang-bincang di sana. Malam ini sedikit teduh dan mendung tak dapat menyembunyikan butir-butir hujan yang sedikit mulai sedikit turun. Kami berbincang tentang masa-masa yang telah dilewati selama sembilan tahun kebelakang, pengalaman, dan hari-hari yang kami anggap bermakna.
Waktu hampir malam, kuajak melodi untuk pulang dengan masih menyisakan wajah yang penuh perasaan tak percaya ataupun kaget. Aku tak perduli reaksimu, memang begitulah wanita, aku bisa membaca raut wajahmu, itu yang akan kukatakan seandainya ia menanyakan kenapa aku hanya bisa tersenyum kecil saat ia mencoba memandangku, sekali lagi, saat dia mencoba memandangku. Aku tahu matamu tak sanggup memandangku lebih dari satu menit. Udara semakin dingin dan jalanan sedikit basah menyisakan lagu hujan yang beberapa saat lalu sudah selesai. Deru mesin sepeda motorku tak mampu menahan kegundahan dan perilakumu yang sangat alamiah. Terlebih saat ku katakan “kau tak berbakat sedikitpun menjadi penyanyi”. Reaksi yang sangat bertolak belakang, seharusnya kau marah, kau bisa memintaku untuk menurunkanmu di tempat itu dan pulang ke rumah sendirian. Tetapi naluriah wanita yang sedang jatuh cinta berkata lain, kau hanya sanggup mengumpat dengan perasaan terombang-ambing rasa penuh gelora gemas yang bergejolak di tengah cubitan-cubitan mesra yang kau lemparkan ke pinggangku. Tak kau sadari kau melemparkan semua perasaanmu secara tersirat kepadaku. Aku mencoba diam dan berperilaku tak mengetahui apapun. Karena jika kuberkata dan membuatmu mengerti bahwa aku tahu perasaanmu malam ini, aku yakin kau takkan punya muka untuk sekedar mengirimkan sms kepadaku. Jalanan kian panjang seiring kecepatan yang ku kurangi menuju rumahmu. Sesampainya di sana, aku berpamitan dan kau berdiri di depan halamanmu mencoba mengiringi aku pulang. Tak sempat ku janjikan kita akan bertemu lagi lain waktu, wajah datar dan sikap terlampau datar pula bahkan menjurus dingin aku lemparkan mengiringi perpisahan pertemuan kita malam ini.

Minggu-II 
Kepanikanmu dan ketidaktenanganmu saat menemuiku malam lalu mengusik alam pikiranku, tepat pukul sebelas siang ini aku menelponmu. Aku menanyakan “sudah matang” jawabanmu kaget bercampur dengan air muka yang berseri menerima telepon dariku. Kau sekilas menjawab “sudah, kok kamu bisa tahu aku sedang memasak?”.
“Sore ini aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Aku akan datang pukul lima sore.” Jawabku menjawab pertanyaannya barusan. Telepon kututup tanpa meminta persetujuan darinya. Sama seperti minggu lalu, aku menyempatkan diri menjenguk nenekku terlebih dahulu sebelum menuju rumahnya untuk menjemputnya untuk jalan sore ini bersamaku. Sampai di rumahnya aku bertemu dengan wanita setengah baya yang aku taksir adalah ibunya, aku dipersilahkan masuk, dan dengan sedikit tergesa dia mengangkat gagang telepon untuk meneleponmu Melodi!!. Sebelum datang ke rumahmu kau mengiyakan akan menunggu kedatanganku sekitar lima belas menit kemudian. Tetapi, kenyataannya kau mengihilang dan ibumu menelepon dan aku menunggu di sini, di kursi ini, layaknya seorang pria menunggu sesuatu. Jika seorang pria menunggu seorang wanita yang dengan sadar menjanjikan waktu dan tempat, sedang ia menghilang dengan tanpa pemberitahuan kepada sang pria, sungguh itu menjadikan pria-pria lemah mental dalam menghadapi dunia yang menjadi terbalik oleh pria-pria yang membalik kodratnya sebagai lelaki. Ingin aku marah, jika kutitipkan geramku pada laut niscaya laut akan mengirimkan ombak. Tetapi biar kusimpan geramku sendiri dan mengucapkan astaghfirullohaladzim. Karena pasti ada penjelasan dan alasan yang masuk akal. Lima belas menit kemudian kau datang dengan seorang gadis cilik. Bercakap dan beralasan ini itu kepada ibumu yang memberondong pertanyaan kepadamu karena membuatku menunggu. Kau coba tunjukkan wajah manismu, namun hal itu semakin menunjukkan tabir kepalsuan. Aku merasa kau sedang berselimut tabir kepalsuan. Dan tangan-tangan ajaiblah yang menuntunku berada dan tetap di sini sekarang. Kau berpamitan untuk mandi dan menyiapkan diri sebentar. Aku iyakan dan aku tetap disuruh menunggu dan sekali lagi tangan takdir yang ajaib itu mencoba menyabarkanku. Adzan maghrib sudah berlalu, saat sebentar kau turun dari kamarmu. Aku berpamitan mengajakmu pergi kepada orang tuamu padahal aku sendiri sedang mencoba memecahkan potongan-potongan puzzle yang mulai ada sejak tadi sore. Entah akan kuajak kau kemana. Rasa-rasanya ide ataupun perasaan tertarik sudah enyah entah kemana. Pilihan pun tertuju ke sebuah pusat perbelanjaan di daerah Jakarta Pusat. Hari hampir malam, ketika kami menjejakkan kaki-kaki kecil memasukinya. Lantai enam, dengan sebuah meja persegi empat, dua kursi yang kami duduki berhadap-hadapan ditemani dua gelas minuman yang menghiasi meja yang datar tanpa warna. Sejenak saling bercerita tentang masa lalu, dengan sesiapa hari-hari itu dilalui, masa-masa sekolah dan sedikit sejarah yang membuatku semakin terbisikkan sesuatu darimu. Sejurus kemudian aku ajak kau pulang, lelah rasanya menyimpan geram yang gagal menjadi api yang menjalar ataupun ombak yang menggulung. Sekali lagi, tabir kepalsuan..
Rintik hujan turun sekali lagi ketika kami mencoba pulang. Kutunggu dan kautunggu pula hujan yang sama, tapi rasanya apa iya hujan ini sama bermaknanya untukmu dan untukku?. Tidak begitu lama air hujan menggelepar di jalanan dan di tempat lain. Aku ajak kau langsung pulang, tetapi kau menolaknya. Aku sudah penat dan lelah melihat sikapmu tadi sore. Dan kulangkahkan sepeda motorku ke arah yang aku tahu. Rintik itu datang lagi, ingin aku berteduh dan memaknai hujan ini. Tapi perasaan untuk memaknai seperti terhapus dengan pikiran untuk segera pulang.sampai di sebuah jalan yang agak panjang, kau mengeluh kedinginan, padahal aku yang sedari tadi basah menahan air yang menuju ke arah kita. Kau mendekatkan jemari tanganmu ke arah pinggangku. Entah setan mana yang membujukku untuk mengarahkan jemari tanganmu dan menggemgamnya menuju ke saku pinggangku. Sebentar lagi daerah pasar senen terlihat, aku masih ingat jelas kau berkata ketika melihat sebuh Bank Pemerintah yang memajang sebuah mobil hadiah di halaman gedungnya, “Ald, nanti kita ambil mobil kita yah..” dengan tawa kecil yang semakin mendekatkan tubuhmu mendekap punggungku. Aku diam, aku tak tahu harus berkata ataupun berbuat apa. Yang kutahu hanya  memutar pedal gas agar lekas sampai rumahmu. Di sekitaran rumahmu, hujan tak terbit lagi. Jalanan kering, sesampainya di depan rumahmu, kau ajak aku untuk mampir, ibu dan kakak perempuanmu menyambutmu dan mungkin juga aku. Kau langsung masuk ke dalam rumah, sedang aku terhenti di pintu dan berpamitan kepada ibu dan perempuan yang ku sangka kakakmu itu. Tak lama kau muncul dari balik tirai ruang tamu dan mengiringi perpisahan pertemuan kita malam ini sembari menyelipkan sedikit perhatian dan permintaan untuk memberi kabar padamu sesampai aku di rumah.

Minggu-III
Malam ini aku mengirimu sms dengan asumsi yang begitu baik. Berharap kau dalam keadaan baik-baik saja. Tetapi setelah beberapa sms perbincangan kita malam ini, tersirat perasaan darimu yang memenuhi ruang gengsi dan keegoisan. Maaf aku berfikir demikian. Namun setelah hari ini telepon kita lebih sering berdering dan meleburkan percakapan kita berdua. Saling ingin mengetahui keadaan masing-masing. Perhatian-perhatian yang datang melebihi seorang teman biasa. Hari-hari yang berjalan tidak lagi konstan, semua akan terasa spontan. Hari-hari yang penuh emosi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar