Selasa, 05 Juni 2012

Mei


Sebuah tabir awan hitam akan senantiasa memunculkan terbit matahari yang menghadirkan hari baru. Ada yang menangis, ada yang mendera. Ada yang mengerang, ada yang menyerang. Kau selalu mengatakan segala sikapmu adalah maksud baik. Tetapi izinkan aku bertanya, maksud baikmu memihak yang mana?. Tak perlu kau jawab pertanyaan barusan. Karena jawabannya hanya akan terseliput debu pasir di tepi pantai yang akan terkuak jika ombak datang menjelang dan mencumbu sang pantai. Laksana harmonisasi alam yang akan terus berkelanjutan selama bumi masih berputar. Pertanyaan-pertanyaan berpeluh debu di jalan raya yang kulewati. Sepengkal jalan cerita hidupmu sudah kau ceritakan. Aku merasa bulan-bulan ini menjadi seperti tidak biasa. Saat kudengar hal yang kau ceritakan, aku berpacu dengan waktu dan kecepatan. Seperti tidak percaya, tapi bisikan angin ini mengatakan hal lain yang menenangkan jiwa. Semakin cepat kau bergerak akan semakin jelas suara angin yang berkelebatan.
Kebajikan manusia tertampilkan, aku harap kau tidak berlebihan menafsirkan. Aku hanya manusia biasa.
Pada bulan ini kita memasuki gerbang kasih sayang, perhatian dan segala perasaan yang ditautkan pada dua insan. Semakin lama bulan semakn bundar berwarna oranye menyambut kebersamaan kita. Hari-hari terlewati menikmati temaramnya bulat jingga di ufuk barat dan gemintang terselimuti awan yang semakin membuat penasaran. Saatnya ini menentuan sikapmu. Percakapan-percakapan setiap malam-malam dan siang hari menjadikan kita saling mengenali masing-masing. Mungkin kau masih ingin sembunyi dari kenyataan masa lalu. Seakan menemukan dunia baru yang kau damba untuk memulai jalur hidup yang baru, namun bagaimana mungkin jika kau masih memakai diri dan pemikiran masa lalu, masa lalu itu adalah suatu hal yang paling jauh dari jangkauan manusia. Aku melihat masa depan yang ungkin sama dengan apa yang kau lihat tetapi jangan terlalu jauh menatap sehingga tatapanmu pada hal yang dekat menjadi berkurang. Tak sadarkah kau kini aku sedang dekat dengan tatapanmu?. Segala sesuatu terjadi memang sudah terencanakan dan tidak kebetulan. Akankah aku menjelaskan tentang perihal yang belum kau ketahui dalam keadaanmu sekarang dengan terang dan tegas dalam hal yang membuat deraian air matamu setiap malam.

Kamis, 10 Mei 2012

April


Bulan-bulan terakhir semakin membuat seru kehidupan, pekerjaan, percintaan, pendidikan dan kemanusiaan menjadi topik utama. Bulan ini aku merasa seperti seorang yang telah menjarah sebuah negeri. Aku dituding sebagai orang yang mengambil paksa seorang yang dicintainya. “Apa aku pantas mendapatkan ini?” pertanyaan itu yang menyelimuti malam-malamku sekarang. Tangisan seorang lelaki yang merajuk seakan kehilangan sebuah mainan yang disayanginya akan menggema tetapi tidak akan memekakkan telinga sang ibu yang mengasuhnya. Seperti nyanyian hujan yang lebih deras dari hari-hari biasanya tidak akan mengurung ucapan syukur manusia yang dilimpahi keberkahan. Aku bagai terpidana saat sebuah surat elektronik menamparku dengan kata-kata penuh iba. Disisi lainnya aku tak mendapatkan keberadaanmu. Melody, apa seperti ini? Disaat rajukan menghujam, kau hilang seakan permasalahan ini berada dipihakmu, apa kau kecewa dengan dirimu sendiri atau merasa ketidakpantasan?. Kebodohan manusia akan dimaafkan jika manusia tidak mengulanginya lagi, bahkan sekalipun hal itu terjadi akan tetap dimaafkan, sabagai manusia kita diperkenankan untuk berimajinasi, namun jangan sampai imajinasi menjadikan dakwaan terhadap manusia lain seakan imajinasimulah yang akan terbukti sebagai takdir. Aku berbincang-bincang dengan desau angin disepanjang jalan yang kulalui untuk pulang. Dentingan melodi-melodi alam yang sendu dan riang bekejaran merasuk jiwa. Seorang wanita yang tak kuat dalam ketegaraanya akan rapuh dan hancur dalam alam pikiran tentang ketegaran itu sendiri. Setiap manusia mempunyai masalah dan cobaan hidupnya masing-masing, semoga kita tidak terlena akan kealpaan diri bahwa kita hidup didunia bersama-sam dengan manusia-manusia lain dengan cabaan hidup yang juga masing-masing. Karena hal yang sedemikian itu akan menjadikan kita menjadi orang yang mengasihani diri sendiri. Alangkah malangnya orang bisanya mengasihani diri sendiri. Diamlah dalam kebekuanmu, jangan menyesal dengan keputusan, tapi mengapa aku merasa ini belum jua akan berhasil. Aku melihat berbagai tabir ini akan terkuak dan aku melihat yang belum jua kau lihat.
Dipayungi sepasang mata bening berkaca-kaca air mata dan dengan suara parau kau berbicara padaku. Berbicara tentang canda tawa dan ketakutan yang menjadi satu dalam nada jiwa.
Bulan ini begitu terasa berat bagaikan tabir badai yang menghalangi kepakan sayap dan lantunan syair pujangga malam yang berjalan di tengah gurun pasir. Kita sering lewati hari-hari bulan ini bersama-sama. Tak jarang pula membuatmu mencurahkan air mata saat selesai berbincang denganku. Hatimu sedang berkecamuk dengan pemahaman yang bersimpangan dengan perasaan yang termanifestasikan oleh pensikapan yang kau dapatkan selama ini sebelum aku mengenalmu. Selalu merasa disalahkan oleh kejadian-kejadian yang sedang terjadi ataupun kejadian dimasa lalumu menjadi bandul yang menahanku untuk menyayangimu. Jam selalu akan berdetak dan waktupun terus menggilas roda-roda pemikiran manusia dengan pemikiran dan pemahaman baru. Sayangnya kau sendiri yang terlalu memewahkan masa lalu yang gelap sehingga terlihat sebagai lantunan dunia kegelapan yang tak berbintang.

Kamis, 26 April 2012

Maret


Awal-awal masa asmara semestinya adalah awal-awal di mana kita mencari tahu keadaan masing-masing. Janganlah menuntut terlalu banyak, itulah yang di tanamkan kepadaku oleh orang-orang yang jujur. Akhir pekan bulan ini aku memang mengajaknya pergi ke sebuah bioskop keesokkan harinya. Hari itu aku pulang terlampau malam, dan hampir pergantian hari baru. Keesokannya aku jatuh sakit, kepalaku pusing dan badanku terasa seperti engsel tua yang lama tak digerakkan. Aku tertidur sedari siang, tak mendengar keriangan kicauan burung diawal musim panas ini. Selepas maghrib, aku terbangun dan menjalankan kewajiban. Setelah itu aku kembali harus menuruti kemauan alam. Sejurus kemudian sms darimu meluncur ke ponselku. Kau menanyakan perihal ajakkanku kemarin. Dalam benakku hanya terfikir kata maaf yang ingin kuucapkan langsung kepadamu dalam kelemahan ini. Aku meneleponmu dan langsung kuucapkan kata maaf itu dan seuntai kata yang menyatakan kelemahanku. Aku tutup telepon dan tertidur hingga dini hari. Maaf. Hari ini berlalu. Minggu baru, datang. Tak selayang sms atau rasa khawatirmu datang menghampiriku. Aku terdiam. Berfikir apakah seperti ini dirimu menyikapiku.. ahh. Mungkin ini perangai aslimu. Minggu ini hampir selesai. Aku tergerak untuk menanyakan kabarmu. Mungkin kau juga sakit dan harus mengalah pada alam. Aku meneleponmu dan terdengar nada suara seraya lantunan harmoni kekhawatiran dan sejumput perasan bersalah.

Selasa, 03 April 2012

Februari


Minggu-I
Ketika mobil yang kami tumpangi meluncur dari mangga dua sehabis mengantarkan kami berjalan-jalan mengisi kekosongan waktu sekolah, seluncur sms menghampiri ponselku. Sebuah sms yang tidak jelas tetapi mengurai maksud untuk sekedar menyapa karena perasaan bersalah tempoh hari yang mengabaikan kehidupanku dan bahkan kehidupannya sendiri dan kehidupan nuraninya. Sedikit ku berfikir di tengah obrolan dan gurauan teman-teman sekolahku di mobil ini. Sesampainya di daerah Gunung Sahari kutelepon dia dan langsung kuajak untuk bertemu. Sebuah sinyal seorang wanita yang ku tangkap dari perilakunya barusan. Pembicaraan setelah lebih dari dua minggu pun terjadi. Tanpa basa-basi setelah kata halo ku dengar dari seberang telepon, langsung kutanyakan “kapan?, kapan kau ingin bertemu denganku??” tawa kecil menyeruak dari bibirnya dan dengan sedikit malu dia menjawab dan menyerahkan waktunya kepadaku. Aku mengatakan nanti sore selepas pulang sekolah, untuk menemuinya, dengan nada sedikit kaget ia pun mengiayakan ajakanku. Terus terang sedikitpun tak ada rasa senang ataupun perasaan yang gembira menunggu kabar ataupun pertemuan. Hanya saja ingin kulihat wajah perempuan yang merasa tak berdosa tanpa kuketahui sebabnya sikapnya akhir-akhir ini. Mobil terus melaju di jalanan ibukota yang sedikit lengang, menuju cempaka putih. Adzan dluhur baru saja berkumandang tetapi tak terasa adzan ashar pun segera menyapa rindu pada senja. Pukul lima sore kelas bubar dan aku berpamitan pada teman-teman untuk pulang lebih awal, menjenguk nenekku dan sejenak beristirahat di sana menunggu waktu yang telah dijanjikan perempuan itu. Selepas adzan maghrib, aku berpamitan kepada nenekku untuk pulang, dan segera menuju tempat pertemuan kami, pertemuan dengan melodi, teman sekolah menengahku. Tak seberapa lama kutunggu dan melodi muncul dari balik pintu kaca sebuah toko yang ada di depan tempat ku berdiam. Dengan raut muka yang bertanya-tanya dia memandangiku, kubalas dengan sebuah senyuman yang biasa. Kusalami dan kutanyakan kabarnya. Langsung ku ajak dia membonceng sepeda motorku dan mencari tempat yang nyaman untuk berbincang. Sepertinya sudah Sembilan tahun kami tidak pernah bertemu dan berbicara, tetapi kurasakan tak ada yang berubah darinya masih sama seperti masa di sekolah menengah dulu. Tatapan wajahnya masih kaku dan penuh rasa penasaran. Aku cairkan dengan gurauan-gurauan yang sedikit membuatnya tertawa. Di sebuah rumah makan pinggir jalan yang sepi dan rindang kami berhenti dan berbincang-bincang di sana. Malam ini sedikit teduh dan mendung tak dapat menyembunyikan butir-butir hujan yang sedikit mulai sedikit turun. Kami berbincang tentang masa-masa yang telah dilewati selama sembilan tahun kebelakang, pengalaman, dan hari-hari yang kami anggap bermakna.
Waktu hampir malam, kuajak melodi untuk pulang dengan masih menyisakan wajah yang penuh perasaan tak percaya ataupun kaget. Aku tak perduli reaksimu, memang begitulah wanita, aku bisa membaca raut wajahmu, itu yang akan kukatakan seandainya ia menanyakan kenapa aku hanya bisa tersenyum kecil saat ia mencoba memandangku, sekali lagi, saat dia mencoba memandangku. Aku tahu matamu tak sanggup memandangku lebih dari satu menit. Udara semakin dingin dan jalanan sedikit basah menyisakan lagu hujan yang beberapa saat lalu sudah selesai. Deru mesin sepeda motorku tak mampu menahan kegundahan dan perilakumu yang sangat alamiah. Terlebih saat ku katakan “kau tak berbakat sedikitpun menjadi penyanyi”. Reaksi yang sangat bertolak belakang, seharusnya kau marah, kau bisa memintaku untuk menurunkanmu di tempat itu dan pulang ke rumah sendirian. Tetapi naluriah wanita yang sedang jatuh cinta berkata lain, kau hanya sanggup mengumpat dengan perasaan terombang-ambing rasa penuh gelora gemas yang bergejolak di tengah cubitan-cubitan mesra yang kau lemparkan ke pinggangku. Tak kau sadari kau melemparkan semua perasaanmu secara tersirat kepadaku. Aku mencoba diam dan berperilaku tak mengetahui apapun. Karena jika kuberkata dan membuatmu mengerti bahwa aku tahu perasaanmu malam ini, aku yakin kau takkan punya muka untuk sekedar mengirimkan sms kepadaku. Jalanan kian panjang seiring kecepatan yang ku kurangi menuju rumahmu. Sesampainya di sana, aku berpamitan dan kau berdiri di depan halamanmu mencoba mengiringi aku pulang. Tak sempat ku janjikan kita akan bertemu lagi lain waktu, wajah datar dan sikap terlampau datar pula bahkan menjurus dingin aku lemparkan mengiringi perpisahan pertemuan kita malam ini.

Minggu-II 
Kepanikanmu dan ketidaktenanganmu saat menemuiku malam lalu mengusik alam pikiranku, tepat pukul sebelas siang ini aku menelponmu. Aku menanyakan “sudah matang” jawabanmu kaget bercampur dengan air muka yang berseri menerima telepon dariku. Kau sekilas menjawab “sudah, kok kamu bisa tahu aku sedang memasak?”.
“Sore ini aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Aku akan datang pukul lima sore.” Jawabku menjawab pertanyaannya barusan. Telepon kututup tanpa meminta persetujuan darinya. Sama seperti minggu lalu, aku menyempatkan diri menjenguk nenekku terlebih dahulu sebelum menuju rumahnya untuk menjemputnya untuk jalan sore ini bersamaku. Sampai di rumahnya aku bertemu dengan wanita setengah baya yang aku taksir adalah ibunya, aku dipersilahkan masuk, dan dengan sedikit tergesa dia mengangkat gagang telepon untuk meneleponmu Melodi!!. Sebelum datang ke rumahmu kau mengiyakan akan menunggu kedatanganku sekitar lima belas menit kemudian. Tetapi, kenyataannya kau mengihilang dan ibumu menelepon dan aku menunggu di sini, di kursi ini, layaknya seorang pria menunggu sesuatu. Jika seorang pria menunggu seorang wanita yang dengan sadar menjanjikan waktu dan tempat, sedang ia menghilang dengan tanpa pemberitahuan kepada sang pria, sungguh itu menjadikan pria-pria lemah mental dalam menghadapi dunia yang menjadi terbalik oleh pria-pria yang membalik kodratnya sebagai lelaki. Ingin aku marah, jika kutitipkan geramku pada laut niscaya laut akan mengirimkan ombak. Tetapi biar kusimpan geramku sendiri dan mengucapkan astaghfirullohaladzim. Karena pasti ada penjelasan dan alasan yang masuk akal. Lima belas menit kemudian kau datang dengan seorang gadis cilik. Bercakap dan beralasan ini itu kepada ibumu yang memberondong pertanyaan kepadamu karena membuatku menunggu. Kau coba tunjukkan wajah manismu, namun hal itu semakin menunjukkan tabir kepalsuan. Aku merasa kau sedang berselimut tabir kepalsuan. Dan tangan-tangan ajaiblah yang menuntunku berada dan tetap di sini sekarang. Kau berpamitan untuk mandi dan menyiapkan diri sebentar. Aku iyakan dan aku tetap disuruh menunggu dan sekali lagi tangan takdir yang ajaib itu mencoba menyabarkanku. Adzan maghrib sudah berlalu, saat sebentar kau turun dari kamarmu. Aku berpamitan mengajakmu pergi kepada orang tuamu padahal aku sendiri sedang mencoba memecahkan potongan-potongan puzzle yang mulai ada sejak tadi sore. Entah akan kuajak kau kemana. Rasa-rasanya ide ataupun perasaan tertarik sudah enyah entah kemana. Pilihan pun tertuju ke sebuah pusat perbelanjaan di daerah Jakarta Pusat. Hari hampir malam, ketika kami menjejakkan kaki-kaki kecil memasukinya. Lantai enam, dengan sebuah meja persegi empat, dua kursi yang kami duduki berhadap-hadapan ditemani dua gelas minuman yang menghiasi meja yang datar tanpa warna. Sejenak saling bercerita tentang masa lalu, dengan sesiapa hari-hari itu dilalui, masa-masa sekolah dan sedikit sejarah yang membuatku semakin terbisikkan sesuatu darimu. Sejurus kemudian aku ajak kau pulang, lelah rasanya menyimpan geram yang gagal menjadi api yang menjalar ataupun ombak yang menggulung. Sekali lagi, tabir kepalsuan..
Rintik hujan turun sekali lagi ketika kami mencoba pulang. Kutunggu dan kautunggu pula hujan yang sama, tapi rasanya apa iya hujan ini sama bermaknanya untukmu dan untukku?. Tidak begitu lama air hujan menggelepar di jalanan dan di tempat lain. Aku ajak kau langsung pulang, tetapi kau menolaknya. Aku sudah penat dan lelah melihat sikapmu tadi sore. Dan kulangkahkan sepeda motorku ke arah yang aku tahu. Rintik itu datang lagi, ingin aku berteduh dan memaknai hujan ini. Tapi perasaan untuk memaknai seperti terhapus dengan pikiran untuk segera pulang.sampai di sebuah jalan yang agak panjang, kau mengeluh kedinginan, padahal aku yang sedari tadi basah menahan air yang menuju ke arah kita. Kau mendekatkan jemari tanganmu ke arah pinggangku. Entah setan mana yang membujukku untuk mengarahkan jemari tanganmu dan menggemgamnya menuju ke saku pinggangku. Sebentar lagi daerah pasar senen terlihat, aku masih ingat jelas kau berkata ketika melihat sebuh Bank Pemerintah yang memajang sebuah mobil hadiah di halaman gedungnya, “Ald, nanti kita ambil mobil kita yah..” dengan tawa kecil yang semakin mendekatkan tubuhmu mendekap punggungku. Aku diam, aku tak tahu harus berkata ataupun berbuat apa. Yang kutahu hanya  memutar pedal gas agar lekas sampai rumahmu. Di sekitaran rumahmu, hujan tak terbit lagi. Jalanan kering, sesampainya di depan rumahmu, kau ajak aku untuk mampir, ibu dan kakak perempuanmu menyambutmu dan mungkin juga aku. Kau langsung masuk ke dalam rumah, sedang aku terhenti di pintu dan berpamitan kepada ibu dan perempuan yang ku sangka kakakmu itu. Tak lama kau muncul dari balik tirai ruang tamu dan mengiringi perpisahan pertemuan kita malam ini sembari menyelipkan sedikit perhatian dan permintaan untuk memberi kabar padamu sesampai aku di rumah.

Minggu-III
Malam ini aku mengirimu sms dengan asumsi yang begitu baik. Berharap kau dalam keadaan baik-baik saja. Tetapi setelah beberapa sms perbincangan kita malam ini, tersirat perasaan darimu yang memenuhi ruang gengsi dan keegoisan. Maaf aku berfikir demikian. Namun setelah hari ini telepon kita lebih sering berdering dan meleburkan percakapan kita berdua. Saling ingin mengetahui keadaan masing-masing. Perhatian-perhatian yang datang melebihi seorang teman biasa. Hari-hari yang berjalan tidak lagi konstan, semua akan terasa spontan. Hari-hari yang penuh emosi.